CUACA di sekitar Masjidil Haram terlihat cerah oleh Nuruddin Baasith Sujiyono. Pria 34 tahun ini tengah mendongakkan lehernya ke langit. Baru beberapa menit, jamaah haji asal Jawa Timur itu melihat suatu keajaiban. Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap. Gerimis datang, disusul hujan lebat serta angin kencang. Debu-debu dan plastik di atas bangunan pun berjatuhan.
Bukannya takut, pemandangan itu justru membuat Nuruddin takjub bukan kepalang. Ia merasa melihat kekuasaan Allah. Dari bawah, tampak olehnya benda-benda di atasnya itu seperti thawaf, mengelilingi Ka’bah dan Masjidil Haram.
Belum tuntas ketakjubannya, sekonyong-konyong ia menyaksikan “keajaiban” lain. Secara mendadak ada benda besar berwarna merah, runtuh dari puncak bangunan masjid dengan suara menggelegar.
Tak lain, benda itu adalah patahan alat penderek (crane) raksasa yang ambruk di atap Babus Salam, Masjidil Haram, Kota Makkah, Jumat (11/09/2015) sore lalu. Saat itu Makkah sedang dilanda badai pasir, disertai guntur, petir, dan hujan deras.
Tragedi itu menelan ratusan korban jiwa dan luka-luka, termasuk jamaah haji dari Indonesia. Di antara yang menjadi korban luka adalah Nuruddin. Bujang asal Sambikerep, Surabaya ini merupakan salah satu saksi mata peristiwa itu.
Ia bertutur, saat itu sekitar setengah jam sebelum adzan Maghrib dikumandangkan. Ia dan para jamaah dari berbagai negara, yang sedang bersiap-siap untuk shalat Maghrib, berada di lantai dasar Masjidil Haram.
“Saya posisi bagian belakang timur Ka’bah, kalau tidak salah lurusannya Pintu As-Salam dan Maqam Ibrahim,” ujarnya.
Usai ia mengambil shaf, lalu menyaksikan pemandangan di langit, terjadilah peristiwa itu. Saat detik-detik jatuhnya patahan crane ke lantai masjid, ia mengaku tak bisa melihat dengan sangat jelas benda itu. Sebab jarak pandangnya terhalang oleh debu.
Tapi, begitu tahu ada benda besar sedang jatuh ke arah dekatnya, “Saya spontan merunduk,” tuturnya.
Nahas, belum sempurna ia membalikkan badan, sebuah benda lain terpental melesat dari atas, tepat mengarah ke kepalanya. “Benda itu menggores kening saya dengan sangat cepat, sampai saya tidak mampu menghindar,” ujarnya.
Hingga wawancara via sambungan internet ini berlangsung, belum ia ketahui benda apa gerangan yang menimpanya. Diduga kuat itu adalah serpihan crane yang jatuh.
“Saya Bukan Korban”
Cerita Nuruddin persis dengan tayangan sebuah video kejadian baru-baru ini. Di situ tampak suasana jelang kejadian pada salah satu titik Masjidil Haram.
Saat itu para jamaah berbagai kalangan sedang hilir mudik, sebagian shalat. Tiba-tiba muncul sebuah benda berbentuk kotak besar berwarna merah. Patahan crane itu terlempar cepat dari atas ke kerumunan jamaah, lalu menyeruduk siapa dan apa saja yang dilewatinya. Orang-orang pun merunduk dan berhamburan.
Suasana berubah jadi mencekam. Sosok-sosok berpakaian putih dan hitam tampak bergelimpangan. Darah berceceran. Debu berhamburan. Jamaah Muslim-Muslimah yang selamat terlihat panik dan linglung.
Saat video itu diperlihatkan media ini kepada Nuruddin, ia memperkirakan, lokasi kejadian itu cukup dekat dengannya. “Sekitar 3-7 meter di sebelah kiri saya,” ujarnya.
Ia pun merasakan getaran akibat benturan crane ke bangunan Masjidil Haram. Saat terluka itu ia tidak merasa sakit, meski darah menetes terus-menerus dari keningnya.
Sesaat usai benturan itu, cerita Nuruddin, suasana di sekitarnya jadi hening. Para jamaah terdiam. Baru setelah ketebalan debu mulai berkurang, jarak pandang pun mulai jelas. Terdengarlah jeritan histeris orang-orang di sekitar lokasi kejadian.
“Allahu Akbar! Subhanallah!” demikian di antara jeritan dzikir yang banyak terdengar olehnya.
“Saya lihat pemandangan orang berlalu-lalang berjuang menyelamatkan diri masing-masing,” ujar Nuruddin.
Tak lama kemudian, ia beserta para korban lainnya menjalani proses evakuasi. Awalnya di ruang gawat darurat lantai dasar Masjidil Haram, lalu pindah ke ruang ICU Rumah Sakit (RS) Ajyad samping masjid. “Setelah itu saya dibawa ambulance ke ICU RS Al Noor,” tuturnya.
Dalam masa perawatan itu, ia dan para korban luka-luka lainnya sempat dikunjungi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Saat itu kepalanya masih dilingkari balutan perban. “Kemarin habis kontrol, perbannya dilepas. Sekarang ditutup plester aja,” ujarnya, Selasa (15/09/2015), seraya memperlihatkan foto dirinya kepada media ini.
Selain di kening, pria yang pertama kalinya berhaji ini juga mengalami luka di bagian kaki kanan dan punggung. Namun begitu, ia merasa tidak tepat jika dirinya disebut korban.
“Tapi (sebagai) salah satu hamba yang mendapatkan pelajaran indah langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala,” ujarnya.
Ia merasa begitu, sebab selama ini ia menganggap rasa syukurnya kepada Allah masih sangat kurang. “Bersyukur karena selamat (dari kejadian), sekaligus dikaruniai pelajaran hidup yang sangat indah, buat bahan tafakur dan instropeksi diri saya,” ungkapnya.
Dengan kejadian tersebut, kata dia, Allah telah menyampaikan pelajaran yang sempurna berupa peringatan keras buat semua umat Islam.
Ditanya soal santunan dari Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz bagi para korban tragedi itu, ia meresponnya positif. Menurutnya, santunan itu wujud permohonan maaf tak terhingga dari Kerajaan Arab Saudi sebagai tuan rumah sekaligus pelayan Masjidil Haram.
“Sejak awal (kejadian) saya pribadi tidak merasa sebagai korban. Jadi, kalau sampai nantinya saya diberi santunan tersebut, maka penggunaannya akan saya niatkan sepenuhnya sebagai amal ibadahnya yang memberikan, yaitu Kerajaan Arab Saudi,” ungkapnya.
Nuruddin terbang ke Arab Saudi bersama 449 jamaah embarkasi Surabaya dengan kloter 21 pada 31 Agustus 2015. Saat kejadian jatuhnya cran, ia tidak sedang bersama jamaah Indonesia lainnya.
Meski masih menjalani rawat jalan, ia bertekad tetap mengikuti rangkaian ibadah haji tahun ini hingga tuntas. “Dengan kehendak Allah Subhanahu Wata’ala,” pungkasnya.
Lebih BeruntungRekan Nuruddin satu kloter dan sekamar, Miftahurrahman, jauh lebih beruntung. Saat kejadian, Miftahurrahman bersama istrinya sedang berada di salah satu area tertutup Masjidil Haram yang digunakan untuk sai.
Ia bercerita, saat itu tiba-tiba terdengar olehnya suara keras benda jatuh, sekitar 50 meter dari tempatnya. Disusul kemudian suara teriakan orang-orang. “Saya kira ya kaca-kaca bangunan pecah. (Getarannya) nggak terasa karena konstruksi bangunan sangat bagus,” ujarnya secara terpisah.
Usai shalat Maghrib, ia keluar dari Pintu Shafa dan terlihat olehnya crane yang terguling. Barulah ia tahu kejadian yang sebenarnya. “Ada banyak sekali kantong jenazah dan ambulans hilir mudik,” ungkapnya.
Jamaah haji lainnya, Zainuddin Tanggi, kloter 12 embarkasi Balikpapan, Kalimantan Timur, juga beruntung bisa selamat. Informasi yang dihimpun media ini, saat kejadian Zainuddin berada sekitar 8 meter dari jatuhnya patahan crane. Tepatnya di lantai dasar tempat thawaf.
Saat itu sekitar pukul 17.50 Waktu Arab Saudi. Usai insiden itu, Zainuddin beserta rombongannya bergegas mencari tempat aman. Ia pun segera menelepon adik iparnya, Fadli Halim, mahasiswa Universitas Islam Madinah.
“Dek, doakan kakak ya, doakan kakak. Orang-orang pada berlumuran darah,” ujar Zainuddin seperti ditirukan Fadli kepada media ini. “Alhamdulillah beliau dan rombongannya selamat,” lanjut Fadli.
Bukannya takut, pemandangan itu justru membuat Nuruddin takjub bukan kepalang. Ia merasa melihat kekuasaan Allah. Dari bawah, tampak olehnya benda-benda di atasnya itu seperti thawaf, mengelilingi Ka’bah dan Masjidil Haram.
Belum tuntas ketakjubannya, sekonyong-konyong ia menyaksikan “keajaiban” lain. Secara mendadak ada benda besar berwarna merah, runtuh dari puncak bangunan masjid dengan suara menggelegar.
Tak lain, benda itu adalah patahan alat penderek (crane) raksasa yang ambruk di atap Babus Salam, Masjidil Haram, Kota Makkah, Jumat (11/09/2015) sore lalu. Saat itu Makkah sedang dilanda badai pasir, disertai guntur, petir, dan hujan deras.
Tragedi itu menelan ratusan korban jiwa dan luka-luka, termasuk jamaah haji dari Indonesia. Di antara yang menjadi korban luka adalah Nuruddin. Bujang asal Sambikerep, Surabaya ini merupakan salah satu saksi mata peristiwa itu.
Ia bertutur, saat itu sekitar setengah jam sebelum adzan Maghrib dikumandangkan. Ia dan para jamaah dari berbagai negara, yang sedang bersiap-siap untuk shalat Maghrib, berada di lantai dasar Masjidil Haram.
“Saya posisi bagian belakang timur Ka’bah, kalau tidak salah lurusannya Pintu As-Salam dan Maqam Ibrahim,” ujarnya.
Usai ia mengambil shaf, lalu menyaksikan pemandangan di langit, terjadilah peristiwa itu. Saat detik-detik jatuhnya patahan crane ke lantai masjid, ia mengaku tak bisa melihat dengan sangat jelas benda itu. Sebab jarak pandangnya terhalang oleh debu.
Tapi, begitu tahu ada benda besar sedang jatuh ke arah dekatnya, “Saya spontan merunduk,” tuturnya.
Nahas, belum sempurna ia membalikkan badan, sebuah benda lain terpental melesat dari atas, tepat mengarah ke kepalanya. “Benda itu menggores kening saya dengan sangat cepat, sampai saya tidak mampu menghindar,” ujarnya.
Hingga wawancara via sambungan internet ini berlangsung, belum ia ketahui benda apa gerangan yang menimpanya. Diduga kuat itu adalah serpihan crane yang jatuh.
“Saya Bukan Korban”
Cerita Nuruddin persis dengan tayangan sebuah video kejadian baru-baru ini. Di situ tampak suasana jelang kejadian pada salah satu titik Masjidil Haram.
Saat itu para jamaah berbagai kalangan sedang hilir mudik, sebagian shalat. Tiba-tiba muncul sebuah benda berbentuk kotak besar berwarna merah. Patahan crane itu terlempar cepat dari atas ke kerumunan jamaah, lalu menyeruduk siapa dan apa saja yang dilewatinya. Orang-orang pun merunduk dan berhamburan.
Suasana berubah jadi mencekam. Sosok-sosok berpakaian putih dan hitam tampak bergelimpangan. Darah berceceran. Debu berhamburan. Jamaah Muslim-Muslimah yang selamat terlihat panik dan linglung.
Saat video itu diperlihatkan media ini kepada Nuruddin, ia memperkirakan, lokasi kejadian itu cukup dekat dengannya. “Sekitar 3-7 meter di sebelah kiri saya,” ujarnya.
Ia pun merasakan getaran akibat benturan crane ke bangunan Masjidil Haram. Saat terluka itu ia tidak merasa sakit, meski darah menetes terus-menerus dari keningnya.
Sesaat usai benturan itu, cerita Nuruddin, suasana di sekitarnya jadi hening. Para jamaah terdiam. Baru setelah ketebalan debu mulai berkurang, jarak pandang pun mulai jelas. Terdengarlah jeritan histeris orang-orang di sekitar lokasi kejadian.
“Allahu Akbar! Subhanallah!” demikian di antara jeritan dzikir yang banyak terdengar olehnya.
“Saya lihat pemandangan orang berlalu-lalang berjuang menyelamatkan diri masing-masing,” ujar Nuruddin.
Tak lama kemudian, ia beserta para korban lainnya menjalani proses evakuasi. Awalnya di ruang gawat darurat lantai dasar Masjidil Haram, lalu pindah ke ruang ICU Rumah Sakit (RS) Ajyad samping masjid. “Setelah itu saya dibawa ambulance ke ICU RS Al Noor,” tuturnya.
Dalam masa perawatan itu, ia dan para korban luka-luka lainnya sempat dikunjungi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Saat itu kepalanya masih dilingkari balutan perban. “Kemarin habis kontrol, perbannya dilepas. Sekarang ditutup plester aja,” ujarnya, Selasa (15/09/2015), seraya memperlihatkan foto dirinya kepada media ini.
Selain di kening, pria yang pertama kalinya berhaji ini juga mengalami luka di bagian kaki kanan dan punggung. Namun begitu, ia merasa tidak tepat jika dirinya disebut korban.
“Tapi (sebagai) salah satu hamba yang mendapatkan pelajaran indah langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala,” ujarnya.
Ia merasa begitu, sebab selama ini ia menganggap rasa syukurnya kepada Allah masih sangat kurang. “Bersyukur karena selamat (dari kejadian), sekaligus dikaruniai pelajaran hidup yang sangat indah, buat bahan tafakur dan instropeksi diri saya,” ungkapnya.
Dengan kejadian tersebut, kata dia, Allah telah menyampaikan pelajaran yang sempurna berupa peringatan keras buat semua umat Islam.
Ditanya soal santunan dari Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz bagi para korban tragedi itu, ia meresponnya positif. Menurutnya, santunan itu wujud permohonan maaf tak terhingga dari Kerajaan Arab Saudi sebagai tuan rumah sekaligus pelayan Masjidil Haram.
“Sejak awal (kejadian) saya pribadi tidak merasa sebagai korban. Jadi, kalau sampai nantinya saya diberi santunan tersebut, maka penggunaannya akan saya niatkan sepenuhnya sebagai amal ibadahnya yang memberikan, yaitu Kerajaan Arab Saudi,” ungkapnya.
Nuruddin terbang ke Arab Saudi bersama 449 jamaah embarkasi Surabaya dengan kloter 21 pada 31 Agustus 2015. Saat kejadian jatuhnya cran, ia tidak sedang bersama jamaah Indonesia lainnya.
Meski masih menjalani rawat jalan, ia bertekad tetap mengikuti rangkaian ibadah haji tahun ini hingga tuntas. “Dengan kehendak Allah Subhanahu Wata’ala,” pungkasnya.
Lebih BeruntungRekan Nuruddin satu kloter dan sekamar, Miftahurrahman, jauh lebih beruntung. Saat kejadian, Miftahurrahman bersama istrinya sedang berada di salah satu area tertutup Masjidil Haram yang digunakan untuk sai.
Ia bercerita, saat itu tiba-tiba terdengar olehnya suara keras benda jatuh, sekitar 50 meter dari tempatnya. Disusul kemudian suara teriakan orang-orang. “Saya kira ya kaca-kaca bangunan pecah. (Getarannya) nggak terasa karena konstruksi bangunan sangat bagus,” ujarnya secara terpisah.
Usai shalat Maghrib, ia keluar dari Pintu Shafa dan terlihat olehnya crane yang terguling. Barulah ia tahu kejadian yang sebenarnya. “Ada banyak sekali kantong jenazah dan ambulans hilir mudik,” ungkapnya.
Jamaah haji lainnya, Zainuddin Tanggi, kloter 12 embarkasi Balikpapan, Kalimantan Timur, juga beruntung bisa selamat. Informasi yang dihimpun media ini, saat kejadian Zainuddin berada sekitar 8 meter dari jatuhnya patahan crane. Tepatnya di lantai dasar tempat thawaf.
Saat itu sekitar pukul 17.50 Waktu Arab Saudi. Usai insiden itu, Zainuddin beserta rombongannya bergegas mencari tempat aman. Ia pun segera menelepon adik iparnya, Fadli Halim, mahasiswa Universitas Islam Madinah.
“Dek, doakan kakak ya, doakan kakak. Orang-orang pada berlumuran darah,” ujar Zainuddin seperti ditirukan Fadli kepada media ini. “Alhamdulillah beliau dan rombongannya selamat,” lanjut Fadli.
0 Response to "“Kejadian Makkah yang Menimpa Saya Jadi Pelajaran Indah”"
Post a Comment