Jatuh Cinta Memang Soal Perasaan. Tapi Menjaganya Harus Tetap Pakai Penghasilan

Proses jatuh cinta yang penuh hal-hal manis kadang membuat kita lupa. Tentang bagaimana hidup setelah debar-debar di dada meredup. Soal berjuang dan mencukupkan diri meski tidak ada lagi gelenyar selepas kecup. Semakin dewasa jatuh cinta ternyata tidak bisa dinikmati begitu saja. Ada konsekuensi besar yang menunggu di baliknya.
Ayolah, kita fair saja. Kemampuan mencukupi diri sebagai manusia juga memegang peranan penting selain cinta. Apalagi buat kita yang sudah dewasa.
Sebab jatuh cinta itu pakai perasaan — tapi menjaganya tetap harus pakai penghasilan.
Jatuh cinta itu mudah. Menciptakan pesta resepsi meriah juga masih masuk kategori mudah. Kehidupan pasca resepsi lah yang sering membuat payah.
Selepas hingar bingar pesta perayaan sebagai pasangan anyar sudah usai, pintu episode yang sebenarnya baru dimulai. Makan di luar sudah tidak bisa dilakukan sesering dulu lagi. Kalian mesti pintar-pintar menyiasati menu. Memilih yang mudah dimasak, enak, dan yang jelas masuk akal nominal belanjanya.
Belum lagi kalau gadismu langsung hamil setelah itu. Bujet nonton mesti rela dicoret sementara, karena biaya kontrol ke dokter obsgyn mengakuisisi kucuran dana. Ngopi-ngopi cantik harus diikhlaskan, sebab biaya pampers dan vaksin anak mulai masuk ke tagihan. Cicilan KPR juga menanti. Membuatmu dan pasangan mesti berkomitmen sekian puluh tahun demi mencicil hunian yang diingini.
Jatuh hati dan memilih bersatu memang soal perasaan. Tapi kalau perkara rasional macam penghasilan dinafikan, chemistry sekuat apapun nampaknya juga bisa bubar jalan.
Seorang teman pernah bilang bahwa kebahagiaan setelah kata ‘Sah!’ diucapkan itu berbeda. Bahagia mengerdil jadi hal sehari-hari yang terkesan biasa saja. Kamu bisa bahagia hanya karena kruntelan nonton DVD sampai ketiduran. Bahagia malah datang dari kejutan pelukan saat mencuci tumpukan pakaian sebagai kegiatan pengisi akhir pekan.
Saat kebahagiaan berubah bentuk, masalah pun juga turut bertransformasi. Jika dulu Perang Dunia 3 bisa terjadi karena lupa memberi kabar atau cemburu, sekarang perselisihan muncul karena tagihan telepon membengkak dibanding bulan lalu. Sebelumnya perselisihan panjang bisa timbul karena bingung memilih mau makan di mana. Akan tiba masanya kalian ribut karena biaya daftar ulang sekolah anak menguras seluruh tabungan yang ada
Menghadapi hidup yang makin tidak ringan macam ini, mencari kebahagiaan saja jadi naif sekali. Hidup adalah tentang bertahan di tengah berbagai desakan kebutuhan. Dibutuhkan partner yang tak mudah menciut saat menghadapi kesulitan.

Dalam ikatan yang dewasa jadi penghitung yang baik bukan berarti matre. Rasionalitas ini menyelamatkan calon anak-anak kita dari hidup yang memble

Rasionalitas meyelamatkan calon anak-anak dari hidup yang memble
Rasionalitas meyelamatkan calon anak-anak dari hidup yang memble
Hubungan bukan cuma soal 2 kepala saja Dari aktivitas rutin bercinta bisa muncul anak-anak lucu tanpa dosa yang mesti diperjuangkan hidupnya. Kalau hanya mengikuti kata hati, bisa saja kita pilih dia yang etos kerjanya buruk sekali. Tapi mulutnya manis. Pelukannya magis. Hasilnya, calon keluarga kita lah yang akan meringis.
Memilih dia yang gigih bekerja bukanlah dosa. Tak perlu juga khawatir disebut matre hanya karena memilih dia yang bisa diajak membangun kemapapan bersama.
Tidak ada yang salah dengan mempertimbangkan pendapatan. Bukankah toh cinta dan perasaan memang tak bisa dimakan?

0 Response to "Jatuh Cinta Memang Soal Perasaan. Tapi Menjaganya Harus Tetap Pakai Penghasilan "

Post a Comment